Insight : Artikel ini adalah sebuah kontemplasi apalah-apalah...
Menjadi blogger adalah sebuah jalan sunyi yang aku pilih sendiri, secara sadar, ikhlas dan tanpa paksaan. Tentu selain blogger aku tetap menjadi manusia normal pada umumnya: makan, berinteraksi nyata dengan manusia nyata (bukan akun kloningan) dan bekerja mengais rejeki. Lantas apakah seorang blogger bukan manusia normal? In my oppinion, not at all. Terlebih blogger yang belum terkenal, atau yang tetap pada platform gratisan dan menolak ikut-ikutan jadi buzzer.
Menjadi blogger itu adalah sarana, agar uneg-uneg di otak bisa dikeluarkan. Konon, salah satu bentuk stress yang paling membahayakan adalah gendheng karena terlalu banyak pikiran. Padahal siapa tahu, di suatu tempat di bumi ini, entah itu di sebuah sudut kota yang sibuk di Eropa, di kamar yang sunyi di sebuah apartemen di Cina atau di tengah belantara rimba di Kongo, ada orang-orang yang secara sukacita dan sukarela mengamini pemikiran yang mati sebelum dilahirkan itu.
Maka janganlah ragu, tumpahkan buah pikiran, bahkan yang paling absurd sekalipun. Bukankah dengan menjadi pria absurd, Raditya Dika melanglang buana menapaki puncak kesuksesan sebagai seorang blogger? Asal jangan melulu mengeksploitasi bab jomblo dan saudara sebangsanya, cukuplah untuk jadi tenar dengan elegan.
Karena pada dasarnya ngeblog, khususnya yang pure mencurahkan beban-beban yang memenuhi pikiran, mengusik ketenangan hidup, menggerogoti waktu yang seharusnya digunakan untuk tenggelam dalam pesta pora atau yang mengundang mimpi-mimpi yang menghantui relung jiwa, adalah sebuah proses kontemplasi, sebuah bentuk pendalaman jiwa untuk berbincang dengan diri sendiri. Bingung khan? Sama.
Jalan Sunyi Para Samurai. Anggaplah di dunia nyata yang penuh hingar bingar ini, kita hidup dalam berbagai keterpaksaan. Kita tidak punya pilihan thus tak ada yang menanyakan apa pilihan kita. Semua sudah tersedia dan wajib hukumnya kita jalani. Maka ngeblog adalah sebuah jalan perlawanan yang paling damai. Tanpa senjata, tanpa pertumpahan darah.
Terlalu berlebihan menyebutnya sebagai sebuah intifada jiwa, tetapi mungkin lebih tepat sebagai sebuah jalan sunyi yang layaknya telah dijalani para Samurai. Mereka yang rela menyerahkan jiwanya untuk menghamba pada para tuan dan memegang teguh idealisme. Pada dasarnya, idealisme, itulah tuan tertinggi mereka. Kok kedengerannya so serious ya?
Eksistensi dari kita yang lain. Sehingga bisa dikatakan inilah cara untuk terus menghidupkan diri kita yang lain. Creppy ya? Jujur, kita memiliki sesuatu yang murni, yang hidup dalam alam bawah sadar kita, seorang kita yang sebenarnya, yang sejati. Sayangnya di dunia nyata, sosok ini harus berkompromi dengan nilai-nilai yang dibangun masyarakat, yang sayangnya penuh intrik dan kekangan.
Perlawanan terbuka terhadap nilai-nilai ini berpotensi menghancurkan kita lebih jauh. Lebih daripada itu, memang sudah seharusnya manusia tunduk pada nilai yang diciptakan, yang idealnya menjadi penengah bagi siapa saja. Maka Ngeblog adalah cara yang paling damai untuk menjaga eksistensi idealisme kita.
Teruslah ngeblog. Tak ada yang memaksa kita ngeblog, semua adalah panggilan. Entah kita memang terlahir dengan skill seperti Dee Lestari yang setiap katanya bisa menyihir siapa saja, atau dianugerahi talenta berupa pisau analisis alami setajam Denny J.A atau memiliki potensi menjadi manusia banal namun asyik macam Eka Kurniawan, tetaplah ngeblog dengan cara anda sendiri. Perkara menjadi terkenal macam nDoro Kakung atau tetap hidup sunyi dalam arti yang sebenarnya macam blog esaiedukasi.com ini, itu urusan nanti. Kalau pepatah jalan raya Indonesia berkata: ngotot dulu, salah benar urusan belakangan di kantor polisi, maka mari kita kokohkan tagline: ngeblog dulu, tenar atau kapiran urusan algoritma google.
Akhir kata, teruslah ngeblog, jangan berharap pada negara. (lho???)